Mahar Emas 6 Juta per Mayam: Pandangan Imam Syafi’i & Solusi Bijak untuk Calon Pengantin di Aceh

Mahar dalam Islam dan Realita Viral di Aceh - Hijrah Digital Islam

Mahar dalam Islam dan Realita Viral di Aceh: Perspektif Imam Syafi'i & Fenomena Emas 6 Juta per Mayam

Pasangan Pengantin

Pasangan Pengantin Aceh (Ilustrasi: Hijrah Digital Islam)

Sumber utama: Ringkasan Kitab Al-Umm, Imam Syafi'i

Pengantar

Akhir-akhir ini masyarakat Aceh ramai membahas soal harga emas yang meroket hingga Rp6 juta per mayam. Bagi masyarakat Aceh, ini bukan sekadar angka ekonomi—karena mayam (3,3 gram emas murni) adalah satuan emas yang sangat erat kaitannya dengan mahar pernikahan.

Dalam budaya Aceh, pernikahan hampir selalu menggunakan emas murni sebagai mahar. Kenaikan harga emas ini membuat banyak pasangan calon pengantin merasa berat, bahkan ada yang menunda pernikahan. Di tengah kegelisahan ini, menarik untuk kembali melihat bagaimana Islam—khususnya dalam pandangan Mazhab Syafi'i—memahami soal mahar dan nilainya dalam pernikahan.

وَآتُوا۟ ٱلنِّسَاۤءَ صَدُقَـٰتِهِنَّ نِحْلَةࣰۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءࣲ مِّنْهُ نَفْسࣰا فَكُلُوهُ هَنِيۤـࣰٔا مَّرِيۤـࣰٔا
"Dan berikanlah kepada para wanita mahar mereka dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa': 4)

1. Mahar Itu Wajib, Tapi Nilainya Fleksibel

Dalam Kitab Al-Umm, Imam Syafi'i menegaskan bahwa mahar adalah syarat sah pernikahan, namun tidak disyaratkan harus dalam bentuk emas atau harus bernilai tinggi. Yang paling penting adalah:

Mahar harus sesuatu yang halal, bernilai, dan bisa dimiliki.

Jika mahar yang dijanjikan haram (misalnya khamer), maka diganti dengan nilai mahar wajar sesuai kebiasaan wanita sekelasnya (mahrul mitsl).

Islam tidak mempersulit: mahar bisa berupa uang, barang, jasa, bahkan pengajaran ilmu, selama disepakati dan bukan sesuatu yang haram.

إِنَّ أَيْسَرَ الْمَهْرِ أَعْظَمُهُ بَرَكَةً
"Sesungguhnya mahar yang paling mudah (ringan) adalah yang paling besar berkahnya." (Hadits riwayat Ibnu Hibban)

Konteks Aceh Sekarang

Kebiasaan menggunakan emas sebagai mahar memang baik dan mulia. Tapi bila harga emas sangat mahal seperti sekarang (Rp6 juta per mayam), Islam tidak memaksa harus tetap menggunakan emas jika itu memberatkan pihak calon suami.

Yang penting adalah akad dan kerelaan kedua belah pihak. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah menikahkan sahabat hanya dengan mahar berupa hafalan Al-Qur'an.

2. Mahar Haram & Konversi Nilai

Imam Syafi'i mengatur bahwa:

Jika mahar haram dan belum diterima istri, maka diganti senilai mahar yang sah.

Jika sudah diterima saat kedua pasangan belum masuk Islam, tetap sah berdasarkan prinsip meninggalkan sisa riba (QS. Al-Baqarah: 278).

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah: 278)

Ini mengajarkan kita pentingnya substansi dan legalitas dalam mahar, bukan sekadar simbol. Jadi, dalam konteks saat ini, jika emas terasa berat, maka:

Mahar bisa dikonversi ke nilai uang setara 1 mayam.

Atau bisa dalam bentuk cincin berlian, seperangkat alat salat, bahkan tabungan atau logam mulia mini, asalkan jelas nilainya dan disepakati bersama.

3. Mahar Tetap Sah Meskipun Ada Perubahan Status

Dalam Kitab Al-Umm, mahar tetap berlaku dalam beberapa kondisi, seperti:

Jika suami murtad lalu kembali ke Islam sebelum masa iddah, maka pernikahan tetap sah dan mahar tetap berlaku.

Jika hubungan terjadi setelah murtad, maka mahar baru wajib diberikan sebagai imbalan hubungan itu.

Apa hikmahnya bagi kita hari ini?

Bahwa nilai sakral mahar lebih penting dari nilainya secara materi. Bahkan jika hubungan suami istri rusak karena murtad, Islam tetap menjaga hak perempuan untuk mendapatkan mahar—entah berupa nilai lama, atau mahar baru.

4. Catatan Sosial: Jangan Jadikan Mahar Penghalang

Harga emas boleh saja naik, tapi syariat Islam tidak berubah: pernikahan itu didorong, bukan dipersulit.

Mahar adalah bukti penghargaan, bukan beban.

Imam Syafi'i dan para ulama tidak pernah mematok standar mahar tinggi. Yang ditekankan justru adalah:

Niat yang tulus.

Akad yang sah.

Kepatuhan pada syariat.

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
"Nikahilah wanita yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain." (HR. Abu Dawud)

Kesimpulan: Bijak Menyikapi Tradisi dan Syariat

Kenaikan harga emas memang fenomena ekonomi yang nyata. Tapi jangan sampai semangat membangun rumah tangga tertunda karena harga mahar yang tidak bisa dijangkau.

Islam, lewat pandangan Imam Syafi'i, memberi ruang luas untuk kreatif dan bijak menentukan mahar sesuai kemampuan dan kondisi zaman. Tak harus emas—yang penting halal, jelas, dan disepakati.

Tetap Semangat Pejuang Linto untuk Dara Baro:

"Dalam Islam, mahar bukan beban, tapi tanda penghargaan. Emas boleh mahal, tapi pernikahan jangan sampai batal. Imam Syafi'i mengajarkan: yang penting sah, halal, dan rela."

Mau Gali Lebih Banyak Ilmu?
Yuk jelajahi Daftar Isi untuk artikel penuh inspirasi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bayar Zakat Fitrah di Mana? Di Kampung atau di Tempat Kita Berlebaran?

Masa waktu Qashar shalat